“Maafkan aku kak, menyayangi orang yang kakak sayang. Tapi kakak tenang
aja, aku udah ngelupain bang Dika kok” ucapku dipelukan Kak Tiara. Walau aku
belum yakin bahwa aku udah menghapus perasaan ku dengan bang Dika. Ah lagian
bang Dika gak mungkin suka sama aku, memiliki perasaan sama aku. Aku mana
pantas untuknya. Tapi sebenarnya... ah sudahlah. “Makasih ya dek, kakak hargai
usaha kamu untuk melupakan bang Dika” kak Tiara membalas pelukanku. Aku mampu
merasakan kehangatan dari seorang kakak.
Kak Tiara menghilang dari hadapan ku. Aku merasa sangat lega karena udah
jujur padanya. Jujur? Bukankah aku bohong tadi. Apakah itu kejujuran. Atau itu
kebohongan? Jujur karena aku mengakui bahwa aku menyayangi bang Dika dan bohong
karena aku mengatakan bahwa aku sudah melupakan bang Dika. Apakah itu
kebohongan atau kejujuran?
“disini kamu rupanya.” April duduk disampingku yang membuat lamunan ku
buyar. “eh, etciyeee tadi pipinya dicium sama bang Raga.” Aku mengejek April.
“Apaan sih?” tanyanya sinis, tapi dari matanya bisa ku lihat bahwa dia senang.
“Kamu udah jelasin perasaan kamu ke bang Dika?” tanya April seketika itu yang
memembuat aku membuat shock. Aku terdiam. Hening. Apakah ini saatnya aku harus
ngomong ke Bang Dika? Bukannya tadi aku uda bilang ke kak Tiara bahwa aku uda
lupa sama Bang Dika, kalo aku menyatakan rasa ini berarti aku mengkhianati kak
Tiara, artinya aku bohong dong tadi. “Veelllll” pekik April ditelingaku yang
membuat lamunan ku buyar. “Apaan sih Pril?” aku membentaknya sambil menutup
kedua telingaku. “Lagian kamu ditanyain malah diam” ia membela diri. Kami lalu
terdiam. Hening. Seketika aku merasa tetesan air mendarat di tubuh ku, “Hujan”
sahut April sambil menadahkan tangannya. Aku lalu menarik tangan April menuju
ke gedung sekolah.
Hujan semakin lebat, tetesannya membasahi daun yang kekeringannya. “Ikut
aku kesana?” April mengarahkan jari telunjuknya ke arah pensi. Aku hanya
menggeleng saja. April pun meninggalkan aku. Selepas April pergi mengahmpiri
Ara dan Anggi, aku naik ke lantai 2 yang bisa terbilang kosong hanya ada cahaya
lampu yang menerangi tiap ruangan disini, dari sini aku bisa melihat seluruh
penjuru sekolah. Pensi dan kantin yang cukup ramai, lapangan upacara yang sepi,
lapangan basket yang kosong dan lapangan bola yang.... “Bang Dika?” putaran
mataku terhenti di lapangan bola. Apa
yang dia lakukan disitu, bermain bola saat hujan seperti ini? Kenapa dia tidak
berkumpul dengan teman-temannya di kantin sana? Kenapa dia terus
menendang-nendang bola? Ada apasih dengannya? Aku terus memperhatikannya dari
atas sini.
Sorry Sorry Sorry Sorry Naega naega naega munjuh
Nehgae nehgae nehgae bbajuh bbajuh bbajuh party baby Shawty Shawty Shawty
Shawty Noonee booshuh booshuh booshuh Soomee makhyuh makhyuh makhyuh Naega
micheo micheo baby
Aku pun lalu meraih hape ku yang berdering tanda sms masuk “Ke ruang band SEKARANG !! GAK PAKE LAMA” isi sms itu seakan memaksaku turun dari sini, dan harus berhenti
memperhatikan bang Dika L ah dasar bang Desta, suka banget ganggu aktivitas orang. Shit !!
Hujan terasa semakin deras, namun aku belum berniat
meninggalkan lapangan ini. Aku biarkan badanku diguyur air hujan, aku sudah tak
peduli lagi. Harapan aku kepada ‘dia’ telah pupus. Semua harapan untuk
bersamanya hilang sudah. Aku sadar aku tidak tau siapa namanya, tapi tidakkah
dia sadar bahwa aku mencintainya aku sayang padanya. Kalau saja seandainya
waktu itu aku tau dia yang sms aku, aku gak akan berhenti sms-an dengannya. Aku
akan terus mengejarnya. Pantas saja, tiap aku bertanya siapa namanya, dia selalu
mengelak ternyata dia adalah teman dekat Tiara. Sampai suatu saat aku mengirim
sms padanya “Kamu siapa sih? Aku gak kenal sama kamu. Kalau kamu gak mau kasih tau
siapa kamu yang sebenarnya aku gak akan mau smsan sama kamu lagi. Terserah kamu
mau sayang sama aku atau apa aku gak peduli. Jangan pernah sms aku lagi.” Benar saja, setelah itu tidak ada lagi orang yang sms ke aku sambil
mengucapkan kata-kata saayang atau “I’m your secret admirer”. Aku sempat
bersyukur saat itu, karena hidupku sudah tenang dan tak perlu pusing-pusing
berfikir siapa yang mengirim sms itu. Tapi sekarang? Perasaan aku luar biasa
hancur, aku ingin teriak sekeras-kerasnya.
Aku gak mau menghilangkan kepercayaan kakak sama aku, gimanapun juga aku
harus menghentikan perasaan ini, aku gak mau mengecewakan kakak, karena kak
Tiara uda aku anggap kakak aku sendiri.” Kata-kata itu
terus terngiang di telinga ku. Ah bodoh kenapa sih dia maunya ngorbanin perasaan dia
ke aku cuman karena Tiara. Bodoh. Bodoh. Lagian kenapa Tiara harus berteman dengannya?
Sial. SIAL !!!!!!!!!!!!!!
Aku terus menendang bola
ini sampai akhirnya ku tendang bola ini dengan sekuat tenaga dan bola itu
melambung entah kemana. Aku tak berniat untuk mencarinya lagi. Aku langsung
berjalan menuju tepi lapangan. Berteduh di sebuah pondok yang biasanya
anak-anak GIF gunakan untuk menaruh perlengkapan mereka saat latihan futsal.
Ah sial, kenapa jadi aku yang disuruh mendata anak kelas 12 yang datang
hariini? Bukannya masih ada yang lain? Mana aku disuruh mendata anak 12ips2
sama anak 12ips3 lagi, ips3? Kelasnya bang Dika dong?. Ah shit !! “Tan temenin
aku dong?” aku mengajak Tania, untuk menemaniku berkeliling sekolah mencari
anak kelas 12 yang hadir dan menyuruh mereka menandatangani absen ini.
“okeeeeee” Tania mengacungkan jempolnya.
Cuman nyari anak kelas 12ips2 aja susahnya bukan main, gimana nanti nyari
anak ips3? “Bang Desta seneng banget sih nyuruh kita kayak gini?” aku mengeluh
dengan Tania saat kami menyusuri lorong kelas 10. “Haa namanya juga senior,
pasti maunya yang ngerjain kayak ginian juniornya” jawab Tania seraya menghela
nafas panjang.
“akhirnya selese juga” ujar ku pada Tania, saat bang Weli tengah
menandatangani absen. “Selesai? Nih si Dika belom tanda tangan” bang Welly
menunjukkan absen nama Ardika Gumilang yang ternyata masih kosong. “Yaaa, Vel,
masak kita harus keliling lagi sih nyari bang Dika” Tania mengeluh. Yah wajar
aja Tania ngeluh, sekolah ini luas banget dan gak semua anak 12ips itu kumpul
di satu tempat, pasti mereka tersebar dimana-mana, udahan itu kami juga gak
kenal semua anak 12ips, jadi cukup menyulitkan. “Yaudah deh gini aja, kamu bawa
absen ini ke bang Desta, ntar aku cari bang Dika dimana, aku ajak dia ke ruang
band, buat nandatanganin ini.” Aku memberikan solusi. “Kenapa kamu gak bawa ini
aja” Tania menyodorkan Absen itu padaku. ah iyaya kenapa aku bodoh sekali.
“Yaudah sini absen ips3, kamu kasi aja ke bang Desta absen ips2 itu” aku
menyodorkan absen ips2 pada Tania dan dia memberikan aku absen ips3.
Aku tau dimana bang Dika, aku yakin dia masih di lapangan bola. Aku pun
berjalan menuju lapangan bola. Sepanjang jalan aku dipenuhi perasaan takut,
ragu-ragu, malu, seneng. Aahhh semua bercampur menjadi satu, karena malam ini
menjadi malam pertama ku bisa ngomong face to face sama dia secara langsung,
selama aku menyukainya aku tak pernah sedikitpun berbicara padanya atau mungkin
malam ini menjadi malam terakhir juga aku bisa face to face sama dia setelah
malam perpisahan ini bisa dipastikan aku tidak akan bertemu dengannya lagi. L
Ternyata benar bang Dika masih ada disitu. Langkahku terhenti seketika
saat ku lihat dia duduk di pondok yang terletak di pojok lapangan bola itu.
Hujan masih turun membasahi lapangan ini dan aku tak berniat membasahi baju ku
ini. Aku pun mencoba memanggil namanya “bang Dika !!!” panggilku , namun ia tak
bergerak, mungkin ia tak mendengar suaraku. “bang Dika” aku berteriak lagi,
namun lagi-lagi ia tak bergeming. Aku pun memutuskan untuk menghampirinya
disudut lapangan sana.
___
Sepertinya ada seseorang yang memanggil namaku. Aku
pun menoleh ke belakang dan ternyata itu ‘dia’ tanpa pikir panjang aku langsung
berjalan menghampirinya yang tengah berlari-lari kecil ke arah ku. Langkahnya
terhenti saat ia menyadari bahwa aku menghampirinya. Kini dia ada dihadapanku.
Kini aku tengah menatap matanya dan aku langsung...
v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar